Dari Tudung Saji ke Hampers: Evolusi Budaya Antar Makanan Menjelang Lebaran

Tradisi berbagi makanan menjelang Lebaran di Indonesia telah mengalami evolusi signifikan dari masa ke masa. Pada abad ke-16, masyarakat kerajaan memiliki kebiasaan menghantarkan hasil bumi kepada raja sebagai bentuk penghormatan. Sebagai balasannya, raja akan memberikan olahan makanan dan kue kepada rakyatnya. Tradisi ini kemudian bertransformasi menjadi kebiasaan mengirim makanan kepada tetangga, saudara, atau teman, yang berlangsung hingga kini.
Pada masa kolonialisme Belanda, budaya berbagi bingkisan hanya dilakukan oleh kalangan tertentu karena adanya ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Selama pendudukan Jepang, tradisi ini kurang populer karena masyarakat lebih fokus pada perjuangan melawan kesulitan hidup. Baru pada tahun 1980-an, tradisi berbagi parsel mulai populer di kalangan masyarakat luas, dengan isi yang awalnya berupa makanan khas Lebaran. Seiring waktu, isi parsel berkembang mencakup pakaian, barang pecah belah, dan bunga.

Memasuki tahun 2000-an, istilah “parsel” mulai bergeser menjadi “hampers,” dan praktik berbagi hampers semakin populer di berbagai kalangan. Para pelaku usaha memanfaatkan tren ini dengan menawarkan berbagai produk hampers yang dikemas secara menarik. ​

Meskipun tradisi berbagi hampers terus berkembang, esensi dari tradisi ini tetap bertujuan mempererat silaturahmi dan menunjukkan kepedulian sosial. Namun, penting untuk menjaga niat dan motivasi di balik pemberian hampers agar tidak melenceng dari nilai-nilai keikhlasan dan silaturahmi yang sesungguhnya.

Sejarah Antar Makanan: Dari Rantang ke Hampers

Tradisi berbagi makanan dalam budaya Nusantara sudah ada sejak lama. Pada zaman dahulu, masyarakat menggunakan rantang—wadah bertingkat dari logam atau anyaman bambu—untuk mengantarkan makanan ke sanak saudara, tetangga, atau guru mengaji. Penggunaan rantang menunjukkan nilai kebersamaan dan gotong royong, di mana makanan yang dibawa sering kali dibuat secara kolektif oleh anggota keluarga.

Seiring perkembangan zaman, wadah pengantar makanan berubah. Munculnya hampers—bingkisan eksklusif berisi makanan, minuman, atau barang lainnya—mengubah cara berbagi menjadi lebih praktis dan bernilai estetika tinggi. Hampers kini identik dengan kemasan mewah dan beragam pilihan isi yang disesuaikan dengan selera penerima.

Pada awalnya, tradisi antar makanan menjelang Lebaran memiliki beberapa tujuan utama yang sangat lekat dengan nilai-nilai sosial dan keagamaan. Pertama, tradisi ini berfungsi sebagai sarana silaturahmi dan berbagi rezeki. Islam mengajarkan pentingnya berbagi, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 267 yang mendorong umat Islam untuk bersedekah dengan harta yang baik dan bermanfaat: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu…” (QS. Al-Baqarah: 267). Dalam konteks ini, mengantarkan makanan kepada saudara, tetangga, dan kerabat bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga bentuk nyata dari ajaran agama untuk berbagi kepada sesama. Kedua, kebiasaan ini juga merupakan ungkapan syukur atas nikmat rezeki yang telah diberikan oleh Allah SWT. Masyarakat terdahulu percaya bahwa semakin banyak berbagi, semakin berkah pula kehidupan yang dijalani. Ketiga, tradisi antar makanan juga berperan dalam membangun kebersamaan. Dengan mengantarkan makanan secara langsung menggunakan rantang atau tudung saji, terjadi interaksi sosial yang erat antara pengirim dan penerima. Percakapan ringan yang terjadi saat mengantar makanan mempererat hubungan kekeluargaan serta memperkokoh nilai gotong royong yang menjadi ciri khas budaya masyarakat Indonesia.

Namun, di era modern, makna dari tradisi ini mulai mengalami pergeseran. Seiring dengan perubahan gaya hidup dan berkembangnya tren konsumsi, budaya berbagi makanan mulai bergeser dari kesederhanaan ke arah kemewahan. Hampers yang kini menggantikan rantang atau tudung saji lebih sering dianggap sebagai bentuk gengsi atau formalitas sosial. Nilai utamanya tidak lagi terletak pada keikhlasan berbagi, tetapi lebih kepada estetika dan eksklusivitas bingkisan yang diberikan. Dalam beberapa kasus, hampers bahkan digunakan sebagai ajang pamer atau simbol status sosial, di mana semakin mahal dan mewah isinya, semakin tinggi pula gengsi si pengirim di mata penerima. Pergeseran ini menimbulkan dilema antara menjaga tradisi silaturahmi dengan tuntutan sosial yang semakin materialistis. Jika tidak disikapi dengan bijak, budaya berbagi yang awalnya penuh makna bisa berubah menjadi sekadar formalitas yang kehilangan esensi aslinya.

Kontroversi Pengiriman Hampers ke Pejabat atau Kolega

Pengiriman hampers kepada pejabat atau kolega, terutama menjelang hari besar seperti Lebaran, sering kali menimbulkan perdebatan di masyarakat. Dari perspektif budaya, hampers dapat dipandang sebagai bentuk penghormatan, apresiasi, atau tanda silaturahmi yang telah lama menjadi bagian dari tradisi. Namun, dalam konteks hukum dan kode etik, pemberian hampers kepada pejabat negara perlu mendapatkan perhatian khusus, terutama terkait dengan potensi gratifikasi yang dapat melanggar peraturan perundang-undangan.

Secara hukum, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa setiap gratifikasi yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara harus dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika berpotensi memengaruhi pengambilan keputusan atau bertentangan dengan kewajiban jabatan penerima. Dalam hal ini, hampers masuk dalam kategori gratifikasi jika diberikan kepada pejabat yang memiliki wewenang dalam kebijakan publik, terutama jika pengirimnya memiliki kepentingan tertentu yang berkaitan dengan posisi penerima.

Berdasarkan regulasi yang berlaku, hampers boleh diberikan selama memenuhi beberapa syarat, di antaranya tidak memiliki motif tersembunyi untuk memperoleh keuntungan tertentu, nilainya wajar dan tidak berlebihan, serta tidak diberikan kepada pejabat yang memiliki hubungan langsung dengan kepentingan bisnis atau pemerintahan pengirim. Sebagai contoh, hampers dalam bentuk parcel Lebaran yang diberikan antar rekan kerja dengan nilai yang wajar masih bisa dianggap sebagai bentuk sosial. Namun, jika hampers berisi barang mewah atau uang dalam jumlah besar, hal ini dapat menimbulkan dugaan sebagai gratifikasi yang bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan.

Sebaliknya, hampers tidak boleh diberikan jika memiliki potensi memengaruhi keputusan atau kebijakan pejabat, memiliki nilai yang terlalu tinggi sehingga dapat dianggap sebagai bentuk suap terselubung, atau diberikan secara rutin dengan motif tertentu yang mencurigakan. Dalam konteks ini, pemberian hampers dapat melanggar Kode Etik Penyelenggara Negara, yang mengharuskan pejabat bersikap transparan dan tidak menerima hadiah atau fasilitas yang dapat memengaruhi netralitas dan profesionalismenya. KPK bahkan telah mengeluarkan Surat Edaran yang mengimbau pejabat negara untuk menolak gratifikasi dalam bentuk apa pun, termasuk hampers, terutama jika berasal dari pihak yang memiliki kepentingan tertentu.

 

Dengan demikian, masyarakat perlu lebih bijak dalam memahami batasan pemberian hampers kepada pejabat atau kolega agar tidak melanggar hukum yang berlaku. Meskipun tradisi berbagi menjelang Lebaran merupakan kebiasaan yang baik, niat dan nilai dari pemberian hampers harus tetap dijaga agar tidak menimbulkan persepsi negatif atau berpotensi menjadi bentuk pelanggaran hukum. Kesadaran akan aturan dan kode etik yang berlaku dapat membantu menjaga budaya berbagi tetap dalam koridor yang benar, tanpa menyalahi prinsip integritas dan transparansi yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak.

Pada akhirnya, budaya berbagi makanan menjelang Lebaran tetaplah tradisi yang baik dan patut dilestarikan. Namun, niat dan motivasi di baliknya harus tetap dijaga agar tidak melenceng dari nilai-nilai keikhlasan dan silaturahmi. Meskipun hampers telah menjadi bagian dari tradisi modern, seharusnya tidak menjadi kewajiban sosial yang membebani. Sebaliknya, menghargai dan memahami makna berbagi lebih penting daripada sekadar mengikuti tren yang ada.

Sebagaimana Islam mengajarkan dalam hadis Nabi: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (HR. Bukhari & Muslim), berbagi sebaiknya dilakukan dengan keikhlasan dan bukan sebagai ajang pamer atau bentuk gratifikasi terselubung.

 

Check Also

Buka Bersama JSIT Subang : Ramadhan Berbagi, Menebar Kasih Menguatkan Ukhuwah

Buka Bersama JSIT Subang : Ramadhan Berbagi, Menebar Kasih Menguatkan Ukhuwah

Subang, 13 Maret 2025 – Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Subang sukses menggelar acara buka …